Kisah Harun ar-Rasyid Berhaji dengan Berjalan Kaki usai Mimpi Bertemu Rasulullah SAW
Harun Ar-Rasyid adalah Khalifah yang paling terkenal pada masa Dinasti Abbasiyah. Ia disebut-sebut sangat berjasa dalam membawa masa keemasan Islam.
Mengutip dari Ad-Daulah Al-Abbasiyyah karya Syaikh Muhammad al-Khudari, Khalifah Harun ar-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi bin Al-Manshur Al-Abbasi Abu Ja’far merupakan khalifah kelima dari Dinasti Abbasiyah di Irak dan yang paling terkenal.
Harun ar-Rasyid lahir di Rayy pada tahun 145 H saat ayahnya, Al-Mahdi, menjabat sebagai walikota di Khurasan.
Ayahnya mempersiapkan dirinya sebagai khalifah oleh karena itu ia diberikan tanggung jawab sebagai komandan militer Ash-Sha’ifah pada 163 dan 165 H.
Pada tahun 164 H, Al-Mahdi mengangkatnya sebagai walikota di wilayah Barat secara keseluruhan mulai dari Anbar hingga seluruh perbatasan Afrika. Hingga akhirnya, pada tahun 166 H Al-Mahdi mengangkatnya sebagai putra mahkota. Namun, Harun ar-Rasyid baru diangkat secara resmi sebagai khalifah saat saudaranya, Al-Hadi, wafat.
Harun Ar-Rasyid terkenal sebagai pemimpin yang Saleh. Ia tidak pernah lupa melaksanakan ritual ibadah agamanya. Setiap pagi, dia memberikan 1.000 dirham untuk amal dan melakukan shalat 100 rakaat (masing-masing disertai banyak bacaan zikir dan doa) setiap hari.
Dikisahkan karena kesalehannya itu, Ia mendapat keberuntungan berupa pertemuan dengan baginda Rasulullah dalam sebuah mimpi. Rasulullah saw dalam mimpi itu kemudian memberi wasiat kepada sang raja.
“Wahai Harun, sungguh seluruh keputusan telah menjadi tanggung jawabmu, maka berhajilah dengan berjalan kaki kemudian berperanglah untuk menegakkan agama Allah, berilah kelapangan bagi penduduk Haramain (Mekkah dan Madinah).
Mendapat perintah yang luar biasa tersebut membuat Khalifah Harun Ar-Rasyid langsung berangkat haji dengan jalan kaki keesokan harinya. Sang raja pun mengunjungi satu persatu kota yang dilewatinya untuk menuju tanah suci.
M. Tholhah Al-Fayyad, alumni Mutakhorrijin Madrasah Hidayatul Mubtadiin bercerita bahwa perjalanan haji sang raja bertepatan dengan tahun 188 H dan menjadi haji terakhir baginya.
“Jika kita membayangkan jarak yang dilalui dan keadaan gurun kering yang tidak ramah yang harus dia jalani, kenyataan ini saja akan memberikan gagasan mengenai tenaganya yang sulit ditaklukkan dan kegigihan karakternya,” tulis seorang sejarawan.
Dialah satu-satunya khalifah yang membebani dirinya dengan sebuah kewajiban yang sangat keras. Barang kali, dialah satu-satunya yang memaksa dirinya melaksanakan begitu banyak sujud dengan shalat hariannya.
Benson Bobrick dalam The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad menuliskan, saat perjalanan haji, dia (Harun) juga memberikan harta dalam jumlah sangat besar kepada penduduk Makkah dan Madinah, dua kota paling suci dalam Islam. Tidak lupa dia juga memberi kepada para jamaah haji yang miskin di sepanjang perjalanan.
“Selalu ada sejumlah orang zuhud yang ia biayai dalam rombongannya. Ketika pada tahun tertentu ia tidak bisa berangkat haji sendiri, dia mengirimkan beberapa wakil yang berkedudukan tinggi bersama 300 pegawai. Semua biaya, ia yang menanggung,” kata Bobrick.
Stempelnya berukirkan tulisan “Harun tawakal pada Tuhan”. Dalam praktiknya, dia tampaknya menjelmakan keyakinan bahwa haji adalah salah satu dari lima pilar agama.
Dalam perjalanan yang melelahkan tersebut, Khalifah Harun Ar-Rasyid sampai ke suatu padang pasir yang panasnya begitu ganas. Saat itulah beliau bertemu dengan seorang wali Allah bernama Imam Fudhoil bin Iyadh.
Imam Fudhoil bin Iyadh lalu berkata kepada sang khalifah, “Wahai Khalifah yang wajahnya terlihat indah, engkau nanti akan dimintai tanggung jawab atas umat Islam, takutlah engkau akan hari di mana diceritakan dalam Alquran.”
Waliullah tersebut kemudian melanjutkan, “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus.”
Seketika setelah mendengar perkataan wali tersebut, Khalifah Harun Ar-Rasyid menangis tersedu-sedu hingga basah janggut putihnya. Tangisan itu juga diikuti oleh sang wali sebelum keduanya berpisah.
Pertemuan singkat tersebut menjadi saksi bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid adalah pemimpin umat Islam yang sangat mulia. Bahkan Imam Fudhoil bin Iyadh sempat memuji beliau.
“Seandainya aku diberi kesempatan untuk meraih doa yang mustajab, niscaya aku akan persembahkan seluruh doaku untuk Khalifah Harun Ar-Rasyid. Karena dengan kebaikan Sang Khalifah, niscaya akan baik seluruh keadaan rakyat, begitu juga ketika Sang Khalifah dan rakyat terjaga kebaikannya niscaya akan tentramlah seluruh hamba Allah dan amanlah negara ini.”
sumber : Himpuh