Hukum dan Syarat Badal Haji, Ibadah Menggantikan Orang Lain dalam Berhaji
Hukum dan Syarat Badal Haji, Ibadah Menggantikan Orang Lain dalam Berhaji, Beribadah haji memang menjadi dambaan kaum muslim dari berbagai negeri. Tak heran bila setiap masuk bulan haji saban tahunnya, jutaan umat Islam berbondong-bondong ke Tanah Suci. Tak sedikit pula diantara yang datang sebagai badal haji.
Badal artinya pengganti. Badal haji berarti seseorang yang berniat haji bukan untuk dirinya, tapi untuk menggantikan haji orang lain. Dalam kitab-kitab fiqih istilah yang sering digunakan adalah al-hajju ‘anil-ghair yaitu berhaji untuk orang lain. Dimana seseorang yang mengerjakan ibadah haji bukan dengan niat untuk dirinya sendiri, melainkan niatnya untuk orang lain. Dengan syarat, orang yang dibadalkan telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji. Atau karena sakit berat sehingga tidak mungkin untuk melakukannya, namun mempunyai biaya atau ongkos yang cukup untuk berhaji.
Dan memang, nyatanya seseorang benar-benar melakukan ibadah haji, namun dia meniatkan agar pahalanya diberikan kepada orang lain. Tentunya ini bukan hal yang mengada-ada, tetapi berdasarkan apa yang dilakukan oleh para sahabat nabi, sebagaimana yang diajarkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW).
Hukum Badal Haji dalam Hadits
Sebagaimana keterangan haidts dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu (RA) bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku bernadzar untuk haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah haji untuknya?” Rasulullah SAW menjawab: “Ya, hajikanlah ia, karena bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu membayarnya? Bayarlah hak Allah, sesungguhnya hak Allah itu lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari dan An-Nasa’i).
Jika dilihat dari hadits tersebut, menjelaskan bahwa seseorang boleh melakukan ibadah haji, namun bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Dalam hal ini untuk ibunya yang sudah meninggal dunia dan belum sempat melakukan ibadah haji.
Kemudian, dalam hadits yang lain, disebutkan ada seseorang yang berhaji untuk ayahnya. Kali ini ayahnya masih hidup, namun kondisinya tidak memungkinkan untuk menunakan ibadah haji. Lalu orang tersebut mendatangi Rasulullah SAW. seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut: Dari Ibnu Abbas RA, bahwasannya ada seorang wanita dari daerah Khats’am mengadu kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah wajib melaksanakan haji, akan tetapi kondisinya sudah tua renta, dia sudah tidak bisa duduk tegak di atas punggung onta.” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Hajikanlah dia.” (HR Muslim dan jamaah ahli hadis)
Menurut para ulama, boleh menghajikan orang lain dalam kondisi sudah meninggal dan tidak mampu secara fisik lantaran sakit. Pendapat ini didukung oleh jumhur ulama, di antaranya Ibnul Mubarak, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahumullah.
Begitu pula para ulama yang duduk dalam Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa) Kerajaan Arab Saudi berpendapat bahwa boleh bagi seorang muslim menunaikan haji wajib untuk orang lain (badal haji). Jika, orang lain tersebut tidak mampu menunaikan haji dengan dirinya sendiri dilihat dari umurnya yang sudah tua, atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuhnya, atau karena telah meninggal dunia.
Syarat Badal Haji
Untuk bisa menghajikan atau mengumrahkan orang lain, dapat dilaksanakan apabila: Pertama, orang yang menghajikan atau mengumrahkan harus sudah melaksanakan ibadah haji atau umrah, juga tidak boleh menggabungkan dengan haji orang lain lagi. Dan yang pasti orangnya sudah akil baligh serta sehat jasmani.
Dalam sebuah hadits diterangkan, yang artinya: Dari Ibnu Abbas RA pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata: “Labbaik ‘an Syubramah” (aku datang memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk Syubramah). Lalu Rasulullah SAW bertanya: “Siapakah Syubramah?” Lelaki itu pun menjawab: “Dia saudaraku ya Rasulullah.” Rasulullah pun bertanya: “Apakah kamu sudah berhaji?” Dia menjawab: “Belum.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Berhajilah untuk dirimu, kemudian kamu berhaji untuk Syubramah.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruquthni dengan tambahan, “Haji untukmu dan setelah itu berhaji untuk Syubramah”).
Kedua, niat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Ketiga, orang yang digantikan hajinya adalah karena telah cukup biaya untuk ibadah haji, namun lemah fisik dan jasmaninya (sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya) atau orang tersebut telah meninggal dunia.
Keempat, harta yang digunakan untuk membiayai orang yang menghajikannya adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya. Kelima, sebagian ulama berpendapat bahwa harus ada izin atau perintah dari orang yang dihajikan.
Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang lain secara sukarela, semisal seorang anak ingin menghajikan orangtuanya yang telah meninggal meski dulu orangtuanya tidak pernah mewasiatkan atau belum mempunyai biaya untuk haji.
Lantas, bagaimana hukum menyewa orang untuk melaksanakan badal haji? Seperti dikutip dalam buku Ensiklopedia Fiqih Haji & Umrah, karya Gus Arifin, disebutkan bahwa menyewa orang untuk menghajikan orang lain, menurut mayoritas ulama mazhab Hanafi hukumnya tidak boleh. Sebagaimana juga tidak diperbolehkannya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran.
Sementara menurut ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali serta sebagian ulama Hanafi berpendapat boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan. Mazhab Syafi’i dan Maliki juga berpendapat: “Boleh menyewa orang untuk melaksanakan haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal.”
Badal haji, boleh dilakukan bagi seorang laki-laki yang menggantikan haji atau umrahnya seorang wanita atau sebaliknya. Dan seorang anak disunnahkan menghajikan orangtuanya yang telah meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Hal ini didasari pada hadits keterangan dari Abu Razin Al-Uqaili RA, dia berkata: “Wahai Rasulullah SAW, ayahku telah tua dan tidak lagi mampu untuk berhaji, umrah serta bepergian jauh.” Lalu Rasulullah SAW berkata: “Berhajilah untuk ayahmu dan berumrahlah.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan An-Nasa’i)
sumber : Himpuh